Pages

Minggu, 23 September 2012

Sejarah Desa Ciangir


sejarah desa ciangir
A. MASA PERJUANGAN
Waktu negara Mataram mendapat serangan dari tentara Belanda diantara seorang pahlawan lari ke arah barat, karena beliau tidak mau tunduk kepada Belanda. Beliau seorang yang sakti perjalanan pada waktu itu menelususri gunung dan beliau dijadikan seorang buronan (karaman).
Setelah turun gunung naik gunung beliau (pahlawan Mataram) sampailah di sebuah dusun yang terletak di lereng gunung tepi sebuah lereng Gunung Tilu. Dusun itu bernama Cinyalung. Dusun itu hanya didiami oleh beberapa umpi saja. Tetapi dia merasa tidak aman tinggal di dusun itu, karena menurut perhitungannya Belanda akan mudah menangkapnya. Lagi pula dia suadah menajdi catatan (dokumen) Belanda.
Maka beliau pergi lagi dari dusun itu ke arah utara dengan maksud mau hidup sebagai peladang. Menemukan sebuah tempat yang datar dan dia membuka sebuah hutan. Pada waktu dia lari Mataram namanya Ciptanala. Setelah sampai di tempat itu namanya diganti dengan Diptanala.
Belanda tidak tinggal diam, setelah diketahui larinya ke arah barat maka dikirimlah pasukan untuk mencari buronannya yang bernama Ki Ciptanala.
Dengan secara kebetulan sampailah di tempat yang sedang dicarinya dan bertemu dengan yang dicarinya. Tetapi Belanda tidak hapal rupanya, hanya tahu namanya saja. Kemudian pimpinan pasukannya bertanya pada orang yang sedang bekerja.
Diantara pertanyaannya sebagai berikut: “Apakah kamu pernah mendengar dan mengenal kepada orang yang bernama Ciptanala?”
Maaf Tuan saya tidak tahu dan tidak mengenalnya.
“Siapa namamu?”
Nama saya Diptanala dan pekerjaan saya hanya bertani.
“Ke mana terusannya jalan ini?” (sambil mencatat nama orang tersebut).
Ke sana Tuan ke selatan.
            Belanda tidak menaruh curiga, dia terus melanjutkan perjalanan. Setelah kira – kira 100 meter jaraknya, dengan kesaktian Ki Ciptanala (Diptanala) ditiupnya pasukan Belanda itu dari belakang hingga mati semuanya.
            Ki Diptanala berpikir,  meski nanti akan datang lagi pasukan yang menyusulnya. Maka beliau meningglakan tempat itu. Kembali ke Dukuh Cinyalung. Tetapi sebelum meningglkannya beliau membuat ciri di tempat itu yang merupakan makam atau kuburan.
            Ciri makamnya sekarang masih ada dan mendapat pemeliharaan Kuncen, dengan julukan : “MAKAM SUDI MAMPIR

               Setelah kembali lagi ke Cinyalung pekerjaan dengan istrinya membuat gula kawung.
            Belanda dipusat merasa heran, karena pasukan yang dikirim terlebih dahulu belum kembali. Maka dikirim lagi pasukan untuk menyusulnya. Datang ke tempat yang dituju ternyata pasukannya mati semua. Kemudian mengadakan pemeriksaan, ditemukan catatan nama DITANALA. Pasukan belanda itu menuju Dukuh Cinyalung.
            Buyut Ditanala mengetahui Belanda sudah datang. Ia berkata pada istrinya: “ Ni (nenek), saya akan mencari tempat untuk ibadah (shalat) sebagai samaran. Jika Belanda datang kesini jangan diberitahukan, pura-pura tidak tahu”. Buyut Ditanala pergi ke arah barat dan mencari sungai serta batu yang datar. Setelah menemukan beliau sembahyyang.
            Belanda datang ke Cinyalung dan menemui istrinya Buyut Ditanala yang sedang memanaskan bahan gula kawung. Belanda tidak bertanya karena timbul rasa takutnya, dilihat mengaduk adonan gula yang sedang mendidih hanya pakai tangan saja tanpa alat.
            Belanda meneruskan perjalanan ke arah barat dan bertemu dengan orang yang sedang smbahyang. Kemudian menanyakan Ki Ditanala.
            “Tidak tahu Tuan, karena saya ini seorang santri yang kerjanya hanya sembahyang saja, barangkali ke barat. Belanda tidak menaruh curiga apa apa, terus melanjutkan perjalanannya. Setelah lewat dan kira kira 100 m pasukan belanda ditiuplagi dari belakang hingga mati semuanya”.
            Buyut Ditanala kembali lagi ke Cinyalung dan sebelu pulang membuat lagi ciri berupa kuburan. Kuburan ini dinamakan: “MAKAM KI SANTRI”.
            Sedatangnya di Cinyalung berunding dengan istrinya yang maksudnya untuk meninggallkan tempat itu. Karena Belanda akan menyusul kembali. Sedangkan buyut sudah merasa berat karena sudah banyak mrmbunuh musuh. 
            Setelah sepakat, suatu waktu berangkat arah ke utara menuju tempat semula (Sudi Mampir) dan singgah dahulu disana (mampir). Sebelum meninggalkan tempat itu Buyut Ciptanala / Ditanala berkata (nurunkeun basa) sebagai berikut: 
            “Isuk jaganing geto kepada anak cucu (incu) kaula nu asalna ti daerah wetan (Jawa Tengah), sing saha bae nu boga kahayang datang ka ieu tempat (Sudi Mampir atawa Jaroh), tinangtu bakal di ijabah sakahayangna”
            Sesudah berkata demikian, Buyut pergi ke arah barat. Menetap sampai meninggalnya di Desa Tanjungsari-Sampay kecamatan Ciwaru.


B. SASAKALA DESA
            Setelah Buyut Sudi Mampir (Ki Santri, Ditanala, Ciptanala, Wayuga Jaya) meninggalkan Dukuh Cinyalung dan Belanda tidak datang lagi, umpi disana kehilangan Tuannya kemudian ditunjuk Buyut Hassanudin seorang Lebe (Kyai) oleh umpi-umpi di Cinyalung untuk menjadi Kuwu. Maka karena menjabat 2 jabatan, yaitu: Lebe dan Kuwu istilahnya disebut AKI BEWU
            Aki Bewu pada waktu itu sering seba ke Gebang (mengunjungi Pinangeran) dan kalau seba cukup mengendarai pelepah kelapa (baralak). Keseniannya calung-gendang. Karena sudah tuanya, kekuwuan diserahkan kepada anaknya yang bernama: MAYA TARUNA
            Buyut Maya Taruna setelah menjadi Kuwu merencanakan akan memindahkan kampung. Dicarinya tempat ke arah utara dan menemukan sebuah dataran yang diapit oleh dua buah anak sungai.
Tempat itu penuh dengan pohon simpur, maka tempat itu dinamai Dukuh Simpur (Ciangir) sekarang. Mungkin di Cinyalung dirasakan kurang aman, karena sudah dikenal Belanda.
Kampungpun pindah ke dukuh yang baru dinamai Dukuh Simpur. Kemudian Buyut Maya Taruna  pun seba ke Pinangeran Gebang. Merundingkan dan menanyakan untuk nama tempat itu.
Dari Gebang Buyut Taruna disuruh pulang, hanya sebelum sampai di Dukuh Simpur disuruh diangir (keramas) dahulu di anak sungai yang mengalir di sebelah barat kampung.
Karena Buyut Maya Taruna diangir dulu dan segala perilku pemimpin pada waktu itu dianggap dan banyak yang ditiru sehingga Dukuh Simpur pun diganti namanya menjadi: CIANGIR. Yang berarti: “Cai tempat diangir”.
Kesenian yang sangat digemari oleh masyarakat pada waktu itu ialah seni Calung yang dilengkapi dengan gendang. Permainannya ialah bermain sulap.
Suatu waktu kesenian Ciangir (calung, gendang, dan sulap) mendapat undangan dari Desa Gunungjawa untuk memperlihatkan kemahirannya. Rombongan berangkat ke Gunungjawa. Pada waktu mempertontonkan permainan sulap, yaitu menyembelih manusia dengan diiringi gendang dan calung. Ternyata kepala orang itu (yang disembelih) hilang tidak dapat diketemukan lagi. Rombongan merasa cemas apalagi kepala rombongan. Kemudian mengadakan pengumuaman dan edaran, tetapi tidak ada yang mengaku berbuat curang. Setelah tidak ada yang mnegaku dan tetap kepalaorang yang disembelih itu tidak ketemu.
Maka pimpinan rombongan mengeluarkan kesaktiannya, yaitu menanam bijij waluh pada waktu itu. Waluh pun (labu) tumbuh dan langsung berbuah. Buahnya dipetik, kemudian mengadakan pengumuman; “kepada siapa yang mempermainkan agar dengan segera kepala orang itu dikembalikan”. Tapi tetap tidak ada yang mengaku (karena sama dengan mengadu kesaktian).
Pemimpin tidak sabar, lalu waluh dibelah di atas panggung. Tiba – tiba orang yang mempunyai ilmu di Gunungjawa itu (orang yang mempermainkan) kepalanya pecah. Dan kepala orang yang hialang ada di dalm gendang. Kulit gendang dibuka sebelah dan orang itu hidup kembali. Setelah datang di Caingir, maka keluarlah ucapan karena mendapat amanat: “Pikeun anak incu jeung turunanana Desa Ciangir teu beunang nanggap calung jeung gegendangan atawa nabeuh gendang. Sing saha anu ngarempak teu wangsit tinangtu panggih balukar atawa kacilakaan”.
Sampai sekarang di Desa Ciangir tidak ada bedug. Boleh nabuh genadang asala gendangnya jangan tertutup semua (seperti dog – dog)

1 komentar:

  1. Saya suka bermimpi pengen punya jalan mulus dan lebar di ruas jalan poros Luragung-Cibingbin-Ciangir-Salem-Bumiayu dan Majenang yang layak dilewati kendaraan bus AKAP tujuan Jakarta. Nantinya bus-bus AKAP kelas eksekutif dengan trayek Jakarta-Purwokerto-Yogya hilir-mudik melewati jalan ini, tidak lagi harus lewat jalan pantura Cirebon. Sedikit ada harapan dengan adanya program Kuningan Summit (Badan Kerjasama Antar Daerah) yang beranggotakan kabupaten-kabupaten di perbatasan Propinsi Jawa Barat dan Propinisi Jawa Tengah (Kab, Kuningan, Cirebon, Ciamis, Banjar, Pangandaran,Majalengka, Brebes dan Cilacap), tapi programnya belum sampai pada integrasi infrastruktur poros jalan Cibingbin-Salem dan Majenang.

    BalasHapus