A. MASA
PERJUANGAN
Waktu
negara Mataram mendapat serangan dari tentara Belanda diantara seorang pahlawan
lari ke arah barat, karena beliau tidak mau tunduk kepada Belanda. Beliau
seorang yang sakti perjalanan pada waktu itu menelususri gunung dan beliau
dijadikan seorang buronan (karaman).
Setelah
turun gunung naik gunung beliau (pahlawan Mataram) sampailah di sebuah dusun
yang terletak di lereng gunung tepi sebuah lereng Gunung Tilu. Dusun itu
bernama Cinyalung. Dusun itu hanya didiami oleh beberapa umpi saja.
Tetapi dia merasa tidak aman tinggal di dusun itu, karena menurut
perhitungannya Belanda akan mudah menangkapnya. Lagi pula dia suadah menajdi
catatan (dokumen) Belanda.
Maka
beliau pergi lagi dari dusun itu ke arah utara dengan maksud mau hidup sebagai
peladang. Menemukan sebuah tempat yang datar dan dia membuka sebuah hutan. Pada
waktu dia lari Mataram namanya Ciptanala. Setelah sampai di tempat itu
namanya diganti dengan Diptanala.
Belanda
tidak tinggal diam, setelah diketahui larinya ke arah barat maka dikirimlah pasukan
untuk mencari buronannya yang bernama Ki Ciptanala.
Dengan
secara kebetulan sampailah di tempat yang sedang dicarinya dan bertemu dengan
yang dicarinya. Tetapi Belanda tidak hapal rupanya, hanya tahu namanya saja.
Kemudian pimpinan pasukannya bertanya pada orang yang sedang bekerja.
Diantara
pertanyaannya sebagai berikut: “Apakah kamu pernah mendengar dan mengenal
kepada orang yang bernama Ciptanala?”
Maaf Tuan saya
tidak tahu dan tidak mengenalnya.
“Siapa namamu?”
Nama saya
Diptanala dan pekerjaan saya hanya bertani.
“Ke mana
terusannya jalan ini?” (sambil mencatat nama orang tersebut).
Ke sana Tuan ke
selatan.
Belanda
tidak menaruh curiga, dia terus melanjutkan perjalanan. Setelah kira – kira 100
meter jaraknya, dengan kesaktian Ki Ciptanala (Diptanala) ditiupnya pasukan
Belanda itu dari belakang hingga mati semuanya.
Ki Diptanala berpikir, meski nanti akan datang lagi pasukan yang
menyusulnya. Maka beliau meningglakan tempat itu. Kembali ke Dukuh Cinyalung.
Tetapi sebelum meningglkannya beliau membuat ciri di tempat itu yang merupakan
makam atau kuburan.
Ciri makamnya sekarang masih ada dan
mendapat pemeliharaan Kuncen, dengan julukan : “MAKAM SUDI MAMPIR”
Setelah kembali lagi ke Cinyalung
pekerjaan dengan istrinya membuat gula kawung.
Belanda dipusat merasa heran, karena
pasukan yang dikirim terlebih dahulu belum kembali. Maka dikirim lagi pasukan
untuk menyusulnya. Datang ke tempat yang dituju ternyata pasukannya mati semua.
Kemudian mengadakan pemeriksaan, ditemukan catatan nama DITANALA. Pasukan
belanda itu menuju Dukuh Cinyalung.
Buyut Ditanala mengetahui Belanda
sudah datang. Ia berkata pada istrinya: “ Ni (nenek), saya akan mencari tempat
untuk ibadah (shalat) sebagai samaran. Jika Belanda datang kesini jangan
diberitahukan, pura-pura tidak tahu”. Buyut Ditanala pergi ke arah barat dan
mencari sungai serta batu yang datar. Setelah menemukan beliau sembahyyang.
Belanda datang ke Cinyalung dan
menemui istrinya Buyut Ditanala yang sedang memanaskan bahan gula kawung.
Belanda tidak bertanya karena timbul rasa takutnya, dilihat mengaduk adonan
gula yang sedang mendidih hanya pakai tangan saja tanpa alat.
Belanda meneruskan perjalanan ke
arah barat dan bertemu dengan orang yang sedang smbahyang. Kemudian menanyakan
Ki Ditanala.
“Tidak tahu Tuan, karena saya ini
seorang santri yang kerjanya hanya sembahyang saja, barangkali ke barat.
Belanda tidak menaruh curiga apa apa, terus melanjutkan perjalanannya. Setelah
lewat dan kira kira 100 m pasukan belanda ditiuplagi dari belakang hingga mati
semuanya”.
Buyut Ditanala kembali lagi ke
Cinyalung dan sebelu pulang membuat lagi ciri berupa kuburan. Kuburan ini
dinamakan: “MAKAM KI SANTRI”.
Sedatangnya di Cinyalung berunding
dengan istrinya yang maksudnya untuk meninggallkan tempat itu. Karena Belanda
akan menyusul kembali. Sedangkan buyut sudah merasa berat karena sudah banyak
mrmbunuh musuh.
Setelah sepakat, suatu waktu
berangkat arah ke utara menuju tempat semula (Sudi Mampir) dan singgah dahulu
disana (mampir). Sebelum meninggalkan tempat itu Buyut Ciptanala / Ditanala
berkata (nurunkeun basa) sebagai berikut:
“Isuk jaganing geto kepada anak cucu
(incu) kaula nu asalna ti daerah wetan (Jawa Tengah), sing saha bae nu boga
kahayang datang ka ieu tempat (Sudi Mampir atawa Jaroh), tinangtu bakal di
ijabah sakahayangna”
Sesudah berkata demikian, Buyut
pergi ke arah barat. Menetap sampai meninggalnya di Desa Tanjungsari-Sampay
kecamatan Ciwaru.
B. SASAKALA DESA
Setelah Buyut Sudi Mampir (Ki
Santri, Ditanala, Ciptanala, Wayuga Jaya) meninggalkan Dukuh Cinyalung dan
Belanda tidak datang lagi, umpi disana kehilangan Tuannya kemudian ditunjuk
Buyut Hassanudin seorang Lebe (Kyai) oleh umpi-umpi di Cinyalung untuk menjadi
Kuwu. Maka karena menjabat 2 jabatan, yaitu: Lebe dan Kuwu istilahnya disebut AKI
BEWU
Aki Bewu pada waktu itu sering seba
ke Gebang (mengunjungi Pinangeran) dan kalau seba cukup mengendarai pelepah
kelapa (baralak). Keseniannya calung-gendang. Karena sudah tuanya, kekuwuan
diserahkan kepada anaknya yang bernama: MAYA TARUNA
Buyut Maya Taruna setelah menjadi
Kuwu merencanakan akan memindahkan kampung. Dicarinya tempat ke arah utara dan
menemukan sebuah dataran yang diapit oleh dua buah anak sungai.
Tempat
itu penuh dengan pohon simpur, maka tempat itu dinamai Dukuh Simpur
(Ciangir) sekarang. Mungkin di Cinyalung dirasakan kurang aman, karena sudah
dikenal Belanda.
Kampungpun
pindah ke dukuh yang baru dinamai Dukuh Simpur. Kemudian Buyut Maya Taruna pun seba ke Pinangeran Gebang. Merundingkan
dan menanyakan untuk nama tempat itu.
Dari
Gebang Buyut Taruna disuruh pulang, hanya sebelum sampai di Dukuh Simpur
disuruh diangir (keramas) dahulu di anak sungai yang mengalir di sebelah barat
kampung.
Karena
Buyut Maya Taruna diangir dulu dan segala perilku pemimpin pada waktu itu
dianggap dan banyak yang ditiru sehingga Dukuh Simpur pun diganti namanya
menjadi: CIANGIR. Yang berarti: “Cai tempat diangir”.
Kesenian
yang sangat digemari oleh masyarakat pada waktu itu ialah seni Calung
yang dilengkapi dengan gendang. Permainannya ialah bermain sulap.
Suatu
waktu kesenian Ciangir (calung, gendang, dan sulap) mendapat undangan dari Desa
Gunungjawa untuk memperlihatkan kemahirannya. Rombongan berangkat ke
Gunungjawa. Pada waktu mempertontonkan permainan sulap, yaitu menyembelih
manusia dengan diiringi gendang dan calung. Ternyata kepala orang itu (yang
disembelih) hilang tidak dapat diketemukan lagi. Rombongan merasa cemas apalagi
kepala rombongan. Kemudian mengadakan pengumuaman dan edaran, tetapi tidak ada
yang mengaku berbuat curang. Setelah tidak ada yang mnegaku dan tetap
kepalaorang yang disembelih itu tidak ketemu.
Maka
pimpinan rombongan mengeluarkan kesaktiannya, yaitu menanam bijij waluh pada
waktu itu. Waluh pun (labu) tumbuh dan langsung berbuah. Buahnya dipetik,
kemudian mengadakan pengumuman; “kepada siapa yang mempermainkan agar dengan
segera kepala orang itu dikembalikan”. Tapi tetap tidak ada yang mengaku
(karena sama dengan mengadu kesaktian).
Pemimpin
tidak sabar, lalu waluh dibelah di atas panggung. Tiba – tiba orang yang
mempunyai ilmu di Gunungjawa itu (orang yang mempermainkan) kepalanya pecah.
Dan kepala orang yang hialang ada di dalm gendang. Kulit gendang dibuka sebelah
dan orang itu hidup kembali. Setelah datang di Caingir, maka keluarlah ucapan
karena mendapat amanat: “Pikeun anak incu jeung turunanana Desa Ciangir teu
beunang nanggap calung jeung gegendangan atawa nabeuh gendang. Sing saha anu
ngarempak teu wangsit tinangtu panggih balukar atawa kacilakaan”.
Sampai
sekarang di Desa Ciangir tidak ada bedug. Boleh nabuh genadang asala gendangnya
jangan tertutup semua (seperti dog – dog)
Saya suka bermimpi pengen punya jalan mulus dan lebar di ruas jalan poros Luragung-Cibingbin-Ciangir-Salem-Bumiayu dan Majenang yang layak dilewati kendaraan bus AKAP tujuan Jakarta. Nantinya bus-bus AKAP kelas eksekutif dengan trayek Jakarta-Purwokerto-Yogya hilir-mudik melewati jalan ini, tidak lagi harus lewat jalan pantura Cirebon. Sedikit ada harapan dengan adanya program Kuningan Summit (Badan Kerjasama Antar Daerah) yang beranggotakan kabupaten-kabupaten di perbatasan Propinsi Jawa Barat dan Propinisi Jawa Tengah (Kab, Kuningan, Cirebon, Ciamis, Banjar, Pangandaran,Majalengka, Brebes dan Cilacap), tapi programnya belum sampai pada integrasi infrastruktur poros jalan Cibingbin-Salem dan Majenang.
BalasHapus